UU No 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dinilai tidak harmonis dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM).
“Jika dicermati hampir seluruh ketentuan dalam UU Tanda Jasa itu tidak sepenuhnya dilandasi pada nilai-nilai HAM,” kata Komisioner Komnas HAM Kabul Supriyadhie saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU Tanda Jasa yang dimohonkan Aktivis ’98 di Gedung MK Jakarta, Selasa (19/7).
Kabul menilai pengertian Pahlawan Nasional dalam Pasal 1 angka 4 UU Tanda Jasa memungkinkan seseorang yang pernah melanggar aturan normatif masih dapat terpilih sebagai orang yang menerima gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan.
“Seharusnya undang-undang itu mengatur secara ketat untuk menghindari agar yang menerima gelar itu bukan orang yang pernah melanggar norma yang mengatur relasi penguasa dan masyarakat atau mereka yang pernah bertindak otoriter, menyalahgunakan kekuasaan,” kata Kabul.
Kabul juga mengkritik keberadaan Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Tanda Jasa karena jika ditinjau dari perpektif HAM tidak ada jaminan suara hati dan rasa keadilan korban pelanggaran HAM itu terwakili di dalam struktur Dewan Gelar. Sebab, salah satu unsur Dewan Gelar berasal dari militer berjumlah dua orang dari tujuh anggota Dewan Gelar.
“Keberadaan unsur militer, akademisi, tokoh masyarakat juga belum dapat menjamin orang-orang yang dipilih tidak pernah melanggar norma.”
Sementara, Pasal 25 UU Tanda Jasa yang mengatur syarat umum dinilai kabur khususnya syarat berkelakuan baik. Sebab, syarat itu masih membuka peluang orang yang terpilih adalah orang yang pernah melanggar ketentuan normatif yang memiliki relasi dengan kekuasaan.
Dalam sidang, Ketua MK menyatakan bahwa sidang pleno ini merupakan sidang terakhir. Karena itu, ia memerintahkan pemohon dan pemerintah untuk menyampaikan kesimpulan yang harus diserahkan pada 2 Agustus 2011. “Diharapkan sebelum lebaran sudah divonis,” kata Mahfud.
Untuk mengingatkan, kesebelas aktivis ’98 yang menjadi pemohon adalah M Chozin Amirulla (PB HMI), Asep Wahyu Wijaya (mantan Ketua Senat Mahasiswa Hukum se-Indonesia), Edwin Partogi (Kontras), Ahmad Wakil Kamal (advokat), Abdullah (ICW), Arif Susanto (Dosen Universitas Paramadina), Dani Setiawan (Koordinator Koalisi Anti Hutang), Embay Supriyantoro (pengusaha), Abdul Rohman (pengusaha), Herman Saputra, dan Ahmad Fauzi.
Mereka menguji Pasal 1 angka 4, Pasal 25 dan Pasal 26 UU No 20 Tahun 2009 terkait definisi, syarat umum, dan syarat khusus seseorang untuk diangkat sebagai pahlawan nasional. Pemberlakuan pasal-pasal itu dinilai merugikan hak pemohon sebagaimana diatur Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 berupa jaminan untuk memajukan diri dalam memperjuangkan kepentingan kolektif.
Para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 4, Pasal 25, dan Pasal 26 tidak bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional). Hal ini berarti pasal yang diuji dianggap konstitusional dengan syarat pemberian gelar kepahlawanan itu tidak diberikan kepada warga negara yang semasa hidupnya menjadi pemimpin diktator, pelanggar HAM berat, dan koruptor yang menyengsarakan rakyat.
Sebagaimana diketahui pengujian ini terkait dengan penolakan sejumlah aktivis ’98 terhadap rencana pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada (alm) mantan Presiden Soeharto pada menjelang 10 November 2010 lalu. Meski akhirnya, Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa urung memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan penguasa orde baru itu.
Sumber : http://hukumonline.com/berita/baca/lt4e259a0ceee63/uu-gelar-dinilai-tak-berperspektif-ham--
No comments:
Post a Comment